Selasa, 03 Desember 2013

GRAND DESIGN MIMBAR DEMOKRASI SUKABUMI (lanjutan)

ANALISA MASALAH PRAKTEK DEMOKRASI DI INDONESIA

Praktek demokrasi di Indonesia menganut pemikiran Huntington yaitu Metode Demokratis Prosedural – electoral, artinya prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik; dimana individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut suara rakyat dalam pemilu (Study Capitalism, Socialism, and Democracy (1991 : 5). Dalam metode itu Kompetisi merebut suara rakyat diposisikan sebagai kepentingan politik abadi dan secara realitas, sejak puluhan tahun lalu, dipraktekkan melalui sikap politik pragmatisme partai-partai politik.  


Di penghujung usia 15 tahun era Reformasi, sikap pragmatisme politik masih menjadi fenomena politik yang secara tidak tertulis menjadi aturan main yang sistemik dan nyaris luput dari sentuhan hukum. Karena itu sikap politik pragmatisme itu melahirkan budaya politik yang mengakumulasi kekuasaan secara instan. Dalam makna budaya politik sebagai sikap terhadap peranan warga Negara dalam suatu system (Almond dan Verba, 1990), Sikap politik pragmatisme itu mengakibatkan terjadinya Distorsi; Penyimpangan dan Pengkhianatan  yang mengganggu proses Demokrasi. Fenomena ini dapat digambarkan antara lain sebagai berikut :

1.      Kapitalisme Demokrasi di tubuh Partai Politik.

Indikasi adanya Kapitalisme Demokrasi di tubuh partai politik dapat kita melihatnya dari bergesernya focus utama perjuangannya, dimana perjuangan partai politik sebagai infrastruktur basis demokrasi lebih berfokus pada Kekuatan Financial sebagai modal utama meraih kekuasaan politik dan mengabaikan fungsi utamanya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Fenomena ini, sepanjang obrolan dan diskusi di warung kopi, terjadi karena adanya kepentingan untuk mempertahankan eksistensi partai politik melalui kemampuan biayai kompetisi politik dalam percaturan demokrasi. Namun karena realitas dana yang bersumber dari iuran internal partai kurang memadai, rekrutmen pemilik dana dari eksternal partai sebagai pilihan sikap kelembagaan politiknya yang dibingkai dengan kommitmen kekuasaan dan bisnis, tanpa melihat kwalitas dan integritas mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Di ranah inilah terjadi transaksi jabatan politik dan proyek bisnis, dan dari titik ini pula mulainya Kapitalisme Demokrasi di tubuh partai politik, distorsi demokrasi dan pengkhiantan rakyat.
Slater dalam Chilcote (2003), Managemen partai politik yang berbasis kekuatan financial dan berorientasi kekuasaan tersebut, dideskripsikan sebagai relasi antar elite politik yang dicirikan dengan tingginya kekompakan elite, minimnya kekuatan oposisi dan terlindungnya para elite dari realitas mekanisme akuntabilitas politik.
Budaya politik yang kemudian membangun managemen partai politik yang kapitalistik tersebut, mau tidak mau, berimplikasi kepada sikap mental rakyat, yaitu tumbuhnya budaya politik transaksional (jual beli) suara rakyat sebagai pemilik mandat demokrasi dalam kompetisi pemilu secara regular. Kondisi fenomenal ini, dimaknai sebagai Demokrasi Transaksional.
Maka, dalam fenomena ini, budaya politik Demokrasi Kapitalistik dan Demokrasi Transaksional menjadi siklus sistematis dalam proses demokrasi yang hampir menjadi Sistem Kepolitikan baru yang menyesatkan dan membawa bangsa Indonesia semakin jauh dari hakekat Demokrasi.
     
2.      Kaderisasi Politik Yang Lemah

Dalam ilmu politik, Partai Politik mengemban salah satu fungsi Kaderisasi Politik sebagai fungsi strategis untuk merekrut, mendidik dan melatih anggota partai politik potensial menjadi kader politik yang akan dipersiapkan menduduki jabatan publik atau untuk mengisi regenerasi kepemimpinan partai politik.
Menguatnya budaya politik yang kapitalistik, sebagaimana digambarkan diatas, menjadikan fungsi kaderisasi partai politik terabaikan, bahkan adanya kecenderungan adanya kebijakan instan yang memberikan akses masuknya para pemodal, kerabat elit politik dan kerabat pejabat birokrasi tanpa melalui seleksi yang terprogram dan rata-rata bertolak belakang dengan platform perjuangan partai.
Fenomena kedua ini sangat berpengaruh kepada kualitas anggota legislatif, presiden/wakil presiden dan kepala daerah bahkan pejabat birokrasi. Hal ini dapat kita buktikan, salah satunya, dari hasil pemilu legislatif tahun 2009 dan beberapa hasil pemilu kepala daerah, yaitu para pemodal, kerabat pejabat birokrasi dan pimpinan politik lama yang bernuansa oligarki (dinasti politik) menduduki jabatan politik birokrasi di pusat dan daerah, Anggota legislatif dan dewan perwakilan daerah dengan prestasi kinerja yang kurang baik. Sebagai contoh, hampir di Gedung Rakyat, baik di DPR Pusat, Propinsi maupun kota/kabupaten adanya indikasi hampir 50 persen anggotanya tidak memiliki kemampuan yang berkaitan dengan peran dan fungsi Anggota legislatif; fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Bahkan bukan berhenti di sana saja, karena dalam proses menuju Gedung Rakyat itu dengan managemen kapitalistik dimana suara rakyat harus dibeli dengan harga mahal maka modal suksesi politik di Pemilu sangat besar dan dengan modal uang tanpa kemampuan dan integritas kepada rakyat serta lemahnya moralitas, setelah duduk di Gedung Rakyat tersebut, fokus utama pemikirannya adalah bagaimana caranya untuk mengembalikan modal dan bunganya menurut perhitungan selera dan kebutuhan (baca: bunga tanpa batas prosentase). Maka tidak mengherankan, bila Para Elit Politik di Gedung rakyat itu, rentan dengan suap menyuap dan korupsi missal.
     
3.      Kualitas Kinerja Legislatif Yang Kurang Baik

Secara teoritis, Sistem Politik dibangun oleh Budaya Politik dan Struktur Politik terdiri dari infrastruktur dan suprastruktur politik. Keduanya saling mempengaruhi dimana dalam kondisi tertentu bekerjanya struktur politik di pengaruhi oleh budaya politik.
Berdasarkan konsep tersebut, budaya politik Kapitalistik dan transaksional dalam proses Demokrasi di Indonesia telah berpengaruh dengan kualitas kinerja Lembaga Legislatif, diantaranya :
a.      Implementasi kinerja bidang pengawasan belum efektif, dibuktikan dengan masih banyaknya penyimpangan dan kebocoran penggunaan anggaran yang berdampak pada semakin maraknya korupsi sistemik. Struktur Pemerintah, Swasta dan  Anggota Legislatif serta Partai Politik  bersatu membangun Sistem Korupsi Kolektif,  salah satu contoh kasus Hambalang dan Import Sapi.
b.      Kinerja bidang Penganggaran, nampaknya terjadi interaksi main mata diantara oknum internal Anggota Legislatif dengan Instansi Sektoral atau Dinas tertentu yang bernuansa kolusi dan lobi-lobi untuk meng-up anggaran Departemen atau Dinas dengan harapan mendapatkan Imbalan atau Komisi.
c.       Kebijakan anggaran dalam format perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang adil dan proporsional belum berhasil diciptakan para Anggota DPR. Dapat kita lihat dari masih besarnya porsi anggaran Pusat dibandingkan Daerah dengan rasio 70% (pusat) : 30 % (daerah) padahal idealnya berada di angka rasio 60 % (Pusat) dan 40 % (Daerah), memgingat semua urusan sudah didesentralisasikan ke daerah untuk meningkatkan pelayanan public.
d.      Kebijakan Anggaran Belanja Pegawai lebih besar dibandingkan Belanja Publik.

 4.     Partisipasi Politik Rakyat Menurun

Demokrasi melibatkan dua variable, yaitu Kontestasi dan Partisipasi. Partisipasi sangat menentukan dalam perkembangan Demokrasi, demikian Dahl (1971) menegaskan variable Demokrasi.
Dalam demokrasi electoral yang mengagendakan pemilu secara regular, partisipasi politik rakyat merupakan factor dan indicator dominan bagi keberhasilan demokrasi.
Menurunnnya angka partisipasi politik yang disertai Meningkatnya Golput yang cukup signifikan adalah bukti menurunnya Partisipasi politik Rakyat Indonesia dan kurang berhasilnya penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dalam Negara demokrasi modern (Soebagio, 2008).
Fenomena ini, tentunya memiliki alasan kondisional, yaitu :
a.         Publik menilai Kinerja Partai Politik gagal dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, mereka lebih focus mengejar kekuasaan dan kekayaan demi kepentingan partai atau elit politik.
b.         Figur-figur kontestan Pemilu masih diikuti oleh figure atau elit politik lama dan bila menampilkan elite politik baru, karena mereka merupakan hasil rekrutmen instan; tidak melalui proses seleksi dan kaderisasi, pada umumnya mereka kurang berkualitas, cacat moral dan rendah tingkat elektabilitasnya.
c.          Kredibilitas para wakil rakyat menurun, karena mereka lebih menampilkan karakter politisinya daripada karakter negarawan, artinya orientasi system perwakilannya masih berbasis Trustee (sebagai wakil partai politik), tidak berbasis Delegate (sebagai wakil rakyat). Dalam hal ini, bisa dilihat dari tampilan DPR dalam proses pembuatan kebijakan sebagai wakil partai yang powerfull, dan membatasi peran DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai refresentasi daerah.



Bila kita sepakat dengan hasil analisa sederhana diatas, bagaimana kita maknakan Demokrasi Indonesia bila hasilnya seperti itu ? Apakah kita akan menjawab, bahwa fenomena kedua ini sebagai proses Demokrasi atau Memang inilah wajah Demokrasi made in Indonesia dengan Garansi yang tidak terbatas ?

0 komentar:

Posting Komentar