ANALISA MASALAH PRAKTEK DEMOKRASI DI INDONESIA
Praktek demokrasi di Indonesia menganut
pemikiran Huntington yaitu Metode Demokratis Prosedural – electoral, artinya
prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik; dimana individu
memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut
suara rakyat dalam pemilu (Study Capitalism, Socialism, and Democracy (1991 :
5). Dalam metode itu Kompetisi merebut suara rakyat diposisikan sebagai
kepentingan politik abadi dan secara realitas, sejak puluhan tahun lalu, dipraktekkan
melalui sikap politik pragmatisme partai-partai politik.
Di penghujung usia 15 tahun era
Reformasi, sikap pragmatisme politik masih menjadi fenomena politik yang secara
tidak tertulis menjadi aturan main yang sistemik dan nyaris luput dari sentuhan
hukum. Karena itu sikap politik pragmatisme itu melahirkan budaya politik yang
mengakumulasi kekuasaan secara instan. Dalam makna budaya politik sebagai sikap
terhadap peranan warga Negara dalam suatu system (Almond dan Verba, 1990),
Sikap politik pragmatisme itu mengakibatkan terjadinya Distorsi; Penyimpangan
dan Pengkhianatan yang mengganggu proses
Demokrasi. Fenomena ini dapat digambarkan antara lain sebagai berikut :
1.
Kapitalisme Demokrasi di tubuh Partai Politik.
Indikasi adanya Kapitalisme Demokrasi di tubuh partai politik dapat kita
melihatnya dari bergesernya focus utama perjuangannya, dimana perjuangan partai
politik sebagai infrastruktur basis demokrasi lebih berfokus pada Kekuatan
Financial sebagai modal utama meraih kekuasaan politik dan mengabaikan fungsi
utamanya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Fenomena ini, sepanjang obrolan dan diskusi di warung kopi, terjadi karena
adanya kepentingan untuk mempertahankan eksistensi partai politik melalui
kemampuan biayai kompetisi politik dalam percaturan demokrasi. Namun karena
realitas dana yang bersumber dari iuran internal partai kurang memadai,
rekrutmen pemilik dana dari eksternal partai sebagai pilihan sikap kelembagaan
politiknya yang dibingkai dengan kommitmen kekuasaan dan bisnis, tanpa melihat
kwalitas dan integritas mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Di
ranah inilah terjadi transaksi jabatan politik dan proyek bisnis, dan dari
titik ini pula mulainya Kapitalisme Demokrasi di tubuh partai politik, distorsi
demokrasi dan pengkhiantan rakyat.
Slater dalam Chilcote (2003), Managemen partai politik yang berbasis
kekuatan financial dan berorientasi kekuasaan tersebut, dideskripsikan sebagai
relasi antar elite politik yang dicirikan dengan tingginya kekompakan elite,
minimnya kekuatan oposisi dan terlindungnya para elite dari realitas mekanisme
akuntabilitas politik.
Budaya politik yang kemudian membangun
managemen partai politik yang kapitalistik tersebut, mau tidak mau,
berimplikasi kepada sikap mental rakyat, yaitu tumbuhnya budaya politik
transaksional (jual beli) suara rakyat sebagai pemilik mandat demokrasi dalam
kompetisi pemilu secara regular. Kondisi fenomenal ini, dimaknai sebagai
Demokrasi Transaksional.
Maka, dalam fenomena ini, budaya politik Demokrasi Kapitalistik dan
Demokrasi Transaksional menjadi siklus sistematis dalam proses demokrasi yang
hampir menjadi Sistem Kepolitikan baru yang menyesatkan dan membawa bangsa
Indonesia semakin jauh dari hakekat Demokrasi.
2.
Kaderisasi Politik Yang Lemah
Dalam ilmu politik, Partai Politik mengemban salah satu fungsi Kaderisasi
Politik sebagai fungsi strategis untuk merekrut, mendidik dan melatih anggota
partai politik potensial menjadi kader politik yang akan dipersiapkan menduduki
jabatan publik atau untuk mengisi regenerasi kepemimpinan partai politik.
Menguatnya budaya politik yang kapitalistik, sebagaimana digambarkan
diatas, menjadikan fungsi kaderisasi partai politik terabaikan, bahkan adanya
kecenderungan adanya kebijakan instan yang memberikan akses masuknya para
pemodal, kerabat elit politik dan kerabat pejabat birokrasi tanpa melalui
seleksi yang terprogram dan rata-rata bertolak belakang dengan platform
perjuangan partai.
Fenomena kedua ini sangat berpengaruh kepada kualitas anggota legislatif,
presiden/wakil presiden dan kepala daerah bahkan pejabat birokrasi. Hal ini
dapat kita buktikan, salah satunya, dari hasil pemilu legislatif tahun 2009 dan
beberapa hasil pemilu kepala daerah, yaitu para pemodal, kerabat pejabat
birokrasi dan pimpinan politik lama yang bernuansa oligarki (dinasti politik)
menduduki jabatan politik birokrasi di pusat dan daerah, Anggota legislatif dan
dewan perwakilan daerah dengan prestasi kinerja yang kurang baik. Sebagai
contoh, hampir di Gedung Rakyat, baik di DPR Pusat, Propinsi maupun
kota/kabupaten adanya indikasi hampir 50 persen anggotanya tidak memiliki
kemampuan yang berkaitan dengan peran dan fungsi Anggota legislatif; fungsi
legislasi, pengawasan dan penganggaran. Bahkan bukan berhenti di sana saja,
karena dalam proses menuju Gedung Rakyat itu dengan managemen kapitalistik
dimana suara rakyat harus dibeli dengan harga mahal maka modal suksesi politik
di Pemilu sangat besar dan dengan modal uang tanpa kemampuan dan integritas
kepada rakyat serta lemahnya moralitas, setelah duduk di Gedung Rakyat
tersebut, fokus utama pemikirannya adalah bagaimana caranya untuk mengembalikan
modal dan bunganya menurut perhitungan selera dan kebutuhan (baca: bunga tanpa
batas prosentase). Maka tidak mengherankan, bila Para Elit Politik di Gedung
rakyat itu, rentan dengan suap menyuap dan korupsi missal.
3.
Kualitas Kinerja Legislatif Yang Kurang Baik
Secara teoritis, Sistem Politik
dibangun oleh Budaya Politik dan Struktur Politik terdiri dari infrastruktur
dan suprastruktur politik. Keduanya saling mempengaruhi dimana dalam kondisi
tertentu bekerjanya struktur politik di pengaruhi oleh budaya politik.
Berdasarkan konsep tersebut, budaya
politik Kapitalistik dan transaksional dalam proses Demokrasi di Indonesia telah
berpengaruh dengan kualitas kinerja Lembaga Legislatif, diantaranya :
a.
Implementasi kinerja bidang pengawasan belum efektif, dibuktikan dengan
masih banyaknya penyimpangan dan kebocoran penggunaan anggaran yang berdampak
pada semakin maraknya korupsi sistemik. Struktur Pemerintah, Swasta dan Anggota Legislatif serta Partai Politik bersatu membangun Sistem Korupsi
Kolektif, salah satu contoh kasus
Hambalang dan Import Sapi.
b.
Kinerja bidang Penganggaran, nampaknya terjadi interaksi main mata
diantara oknum internal Anggota Legislatif dengan Instansi Sektoral atau Dinas
tertentu yang bernuansa kolusi dan lobi-lobi untuk meng-up anggaran Departemen
atau Dinas dengan harapan mendapatkan Imbalan atau Komisi.
c.
Kebijakan anggaran dalam format perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang
adil dan proporsional belum berhasil diciptakan para Anggota DPR. Dapat kita
lihat dari masih besarnya porsi anggaran Pusat dibandingkan Daerah dengan rasio
70% (pusat) : 30 % (daerah) padahal idealnya berada di angka rasio 60 % (Pusat)
dan 40 % (Daerah), memgingat semua urusan sudah didesentralisasikan ke daerah
untuk meningkatkan pelayanan public.
d.
Kebijakan Anggaran Belanja Pegawai lebih besar dibandingkan Belanja
Publik.
4. Partisipasi Politik Rakyat Menurun
Demokrasi melibatkan dua variable,
yaitu Kontestasi dan Partisipasi. Partisipasi sangat menentukan dalam
perkembangan Demokrasi, demikian Dahl (1971) menegaskan variable Demokrasi.
Dalam demokrasi electoral yang
mengagendakan pemilu secara regular, partisipasi politik rakyat merupakan
factor dan indicator dominan bagi keberhasilan demokrasi.
Menurunnnya angka partisipasi politik yang disertai
Meningkatnya Golput yang cukup signifikan adalah bukti menurunnya Partisipasi
politik Rakyat Indonesia dan kurang berhasilnya penyelenggaraan Pemilu yang
demokratis dalam Negara demokrasi modern (Soebagio, 2008).
Fenomena ini, tentunya memiliki alasan kondisional, yaitu :
a.
Publik menilai Kinerja Partai Politik gagal dalam memperjuangkan aspirasi
masyarakat, mereka lebih focus mengejar kekuasaan dan kekayaan demi kepentingan
partai atau elit politik.
b.
Figur-figur kontestan Pemilu masih diikuti oleh figure atau elit politik
lama dan bila menampilkan elite politik baru, karena mereka merupakan hasil
rekrutmen instan; tidak melalui proses seleksi dan kaderisasi, pada umumnya
mereka kurang berkualitas, cacat moral dan rendah tingkat elektabilitasnya.
c.
Kredibilitas para wakil rakyat menurun, karena mereka lebih menampilkan
karakter politisinya daripada karakter negarawan, artinya orientasi system
perwakilannya masih berbasis Trustee (sebagai wakil partai politik), tidak
berbasis Delegate (sebagai wakil rakyat). Dalam hal ini, bisa dilihat dari
tampilan DPR dalam proses pembuatan kebijakan sebagai wakil partai yang
powerfull, dan membatasi peran DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai
refresentasi daerah.
Bila kita sepakat dengan hasil analisa sederhana diatas,
bagaimana kita maknakan Demokrasi Indonesia bila hasilnya seperti itu ? Apakah
kita akan menjawab, bahwa fenomena kedua ini sebagai proses Demokrasi atau
Memang inilah wajah Demokrasi made in Indonesia dengan Garansi yang tidak
terbatas ?
0 komentar:
Posting Komentar